Salah satu tujuan saya membangun lalu mengurus dua akun Facebook dan satu Fans Page dengan setia adalah membangun suatu jejaring sosial para facebooker dan fans yang akan bersama-sama membangun dan memantapkan budaya saintifik di dalam masyarakat Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini, tentu saya harus bersabar, mengingat budaya agama sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia terkenal sangat, sangat beragama sampai-sampai agama pun dengan keliru kerap dipakai untuk mengendalikan dan membelokkan sains (ilmu pengetahuan), dan rasio (akal budi) dikalahkan oleh iman atau kepercayaan membuta pada hal-hal yang tak pernah dibuktikan ada/terjadi secara objektif empiris tetapi diterima begitu saja dengan naif sebagai fakta-fakta. Lalu fakta-fakta bayangan ini dijadikan pengendali pamungkas atas segala hal lainnya dalam kehidupan masyarakat. Bicara secara parabolik, orang Indonesia bisa dikata memakai 97 persen waktu mereka untuk mengurus agama dan membaca buku-buku agama, ketimbang memikirkan sains dan membaca buku-buku sains. Dalam masyarakat Indonesia yang budaya agamanya begitu kuat, tulisan saya ini, tulisan tentang suatu sikap mental, pasti akan dikecam habis oleh kaum agamawan.
Sains dan agama sama-sama mengajukan klaim-klaim mengenai kebenaran-kebenaran, tetapi keduanya memakai metode-metode penemuan kebenaran yang berbeda dan bertolakbelakang satu sama lain. Kebenaran-kebenaran yang diklaim dimiliki agama seringkali disebarkan lewat pemaksaan, dan bahkan lewat kekerasan, bahkan kekerasan sering dipakai untuk membela kebenaran-kebenaran agama apapun. Sebaliknya, kebenaran-kebenaran saintifik, jika sudah teruji dan terverifikasi, akan diterima komunitas dunia saintiik dengan tanpa dipaksa tetapi dengan sendirinya; begitu juga, pandangan-pandangan baru saintifik dilepas ke komunitas dunia saintifik untuk diulas dan diuji, lewat diskusi, debat, kritik dan dialog yang bermartabat, tanpa penumpahan darah siapapun. Jelas jadinya, budaya saintifik yang saya mau ikut bangun dalam masyarakat Indonesia berkonfrontasi tajam dengan budaya agama.
By the way, kita sudah lama kenal dengan ungkapan "budaya korupsi", ketika orang menyatakan misalnya bahwa budaya korupsi telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Jelas, maksud pernyataan ini adalah bahwa hampir semua orang dalam masyarakat Indonesia sudah terbiasa korupsi, di dalam semua bidang pekerjaan dan dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga tidak ada lagi perasaan bersalah ketika seseorang melakukan korupsi: mencuri uang perusahaan, mencuri uang negara, mencuri uang kas gereja, mencuri uang kas komunitas, menyogok, memeras, meminta uang pelicin, membebankan biaya siluman, sebisa mungkin dilakukan dengan profesional sehingga tidak terendus oleh orang lain. Ketika keadaan ini sudah begitu terbiasa, dan semua orang sudah sama-sama tahu bahwa mereka semua korup, maka budaya korupsi pun menjadi suatu gaya hidup yang umum dilakoni.
Demikianlah, budaya saintifik adalah suatu sikap hidup, suatu gaya hidup, suatu sikap mental, suatu kondisi, di mana sains menjadi pengarah dan pengendali kehidupan umum, yang diterima oleh bagian terbesar masyarakat dengan sadar dan sebagai hal yang normal dan benar, sehingga hal-hal yang bertentangan dengan sains dipandang sebagai suatu abnormalitas dan ketidakbenaran.
Fitur-fitur penting suatu budaya saintifik, yang bertentangan dengan fitur-fitur budaya agama, dengan demikian perlu sekali kita kenali, lalu dengan sadar kita jadikan sebagai budaya dan gaya hidup kita sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hanya dengan terus-menerus konsisten hidup sejalan dengan fitur-fitur budaya saintifik, kita mungkin sekali bisa memberi sumbangan penting bagi usaha bersama kita menjadikan bangsa dan negara Indonesia sebagai bangsa dan negara yang mempunyai peran penting dalam memajukan dan mengembangkan sains (dan teknologi) di tingkat global. Ini adalah usaha yang sangat penting, sebab masa depan dunia, bahkan keselamatan spesies manusia di masa depan, tidak bergantung pada agama, tetapi pada sains dan teknologi modern.
Siapapun yang menjalani kehidupannya dalam suatu budaya saintifk, yang berkonflik dengan kehidupan dalam budaya agama, senantiasa akan menjalankan langkah-langkah berikut, dan sementara menjalankan semuanya dengan sungguh-sungguh akan berkembang makin bijaksana dan makin bermoral.
(1) Berpaling ke sains, bukan ke kitab-kitab suci, dalam mencari kebenaran-kebenaran apapun dalam jagat raya ini
Sudah sangat lama kaum agamawan mengklaim bahwa agama adalah satu-satunya pranata yang otoritatif dalam menjelaskan segala hal yang ada dalam dunia ini, dalam kehidupan manusia, dan dalam jagat raya, karena segala hal sudah ditulis dalam kitab-kitab suci, dan ditulis di bawah bimbingan Allah sehingga tulisan-tulisan dalam kitab-kitab suci tak bisa salah dalam segala hal. Ketika agama dan kekuatan politik menyatu, klaim ini kerap menyeret kaum saintis dari berbagai zaman dan tempat ke tangan-tangan para penguasa religio-politik yang akan menyiksa bahkan membunuh mereka karena mereka, sebagai saintis, telah berani mengutarakan ke publik pandangan-pandangan saintifik mereka yang dinilai bertentangan dengan isi kitab-kitab suci.
Era hegemoni agama atas dunia sains kini sudah berakhir. Kebangkitan sains untuk melawan agama baru saja dimulai. Dalam peradaban Barat, era kebangkitan dan kemenangan sains atas otoritas agama dimulai pada abad ke-18, era yang disebut Aufklaerung, era Pencerahan. Tetapi satu atau dua abad sebelumnya, Galileo Galilei (1564-1642) telah memulai era kemenangan sains atas agama, dan atas keberaniannya hidup dalam budaya saintifk dan memelopori pemikiran saintifik dan pemakaian metode penyelidikan saintifik, dia kini diakui sebagai Bapak sains modern meskipun pada masanya dia ditolak oleh gereja dan dikenai tahanan rumah sampai akhir hayatnya. Sekarang adalah saatnya untuk orang tanpa rasa takut apapun berpaling ke sains ketika mereka mencari kebenaran apapun dalam jagat raya. Sekaranglah saatnya orang tanpa rasa takut perlu menulis buku-buku sains dan menerbitkannya untuk publik. Kini tak ada wilayah alam dan kehidupan yang tidak bisa dimasuki sains untuk dianalisis secara saintifik.
Klaim bahwa agama menyampaikan kebenaran-kebenaran spiritual supernatural, yang bukan menjadi objek-objek kajian sains sehingga agama tetap mempunyai suara yang otoritatif dalam pengetahuan tentang hal-hal spiritual dan supernatural, sekarang ini sudah tak bisa lagi dipertahankan mengingat sains modern kini sudah memasuki dan menyelidiki juga kawasan-kawasan yang selama ini diklaim kaum agamawan sebagai kawasan-kawasan spiritual supernatural.
Penyelidikan saintifik dengan memakai pendekatan-pendekatan klinis (maksudnya: memakai objek-objek kajian yang real, otak manusia misalnya, bukan hanya kajian-kajian teoretis) terhadap kawasan-kawasan yang diklaim sebagai kawasan-kawasan spiritual supernatural dilakukan oleh disiplin ilmu yang dulu dinamakan neuropsikologi, yang kini dinamakan neurosains.
Neurosains juga sudah menjelajah masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini diklaim sebagai wilayah-wilayah klenik atau wilayah-wilayah paranormal, sehingga segala bentuk fenomena klenik dan paranormal kini hampir seluruhnya sudah bisa dijelaskan sebagai hal-hal natural yang tunduk pada kajian-kajian saintifik, untuk memperlihatkan cara-cara kerjanya, isinya, bahkan kebohongan-kebohongannya.
Untuk sementara ini, saya bisa menganjurkan buku-buku berikut ini untuk dibaca dengan seksama dan dipahami, yang isinya semua mendukung apa yang baru saya kemukakan di atas:
(*) Michael A. Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs (New York: Praeger, 1987);
(*) Andrew Newberg, E. D'Aquili, dan V. Rause, Why God Won't Go Away (New York: Ballantine Books, 2001).
(*) Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings from a Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009);
(*) Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Henry Holt and Company, 1997, 2002);
(*) Michael Shermer, The Believing Brain: From Ghosts and Gods to Politics and Conspiracies—How We Construct Beliefs and Reinforce Them as Truths (New York: Henry Holt and Company, 2011);
(*) Richard Wiseman, Paranormality: Why We See What Isn't There (MacMillan, U.K., 2011).
(2) Mengambil posisi rasional, kritis dan skeptis terhadap segala sesuatu, dan menjauhkan diri dari posisi main percaya saja
Dengan kata lain, posisi ini adalah posisi mempertahankan dan membela rasionalisme, kritisisme, skeptisisme, dan melepaskan fideisme sekali untuk selamanya.
Sikap dan pandangan yang rasional, kritis, dan meragukan segala sesuatu (=skeptisisme) adalah beberapa fondasi mental penting yang di atasnya sains dibangun dan terus dikembangkan. Sebaliknya, dalam budaya agama orang umumnya diminta untuk mempertahankan fideisme, yakni sikap menerima saja dalam iman/kepercayaan (fides) penuh dan membuta atas segala hal yang diajarkan para sesepuh komunitas keagamaan apapun turun-temurun. Rasionalisme, kritisisme dan skeptisisme adalah musuh agama-agama pada umumnya.
Kritik yang lahir dari pemikiran yang rasional dan mendasar, yang sama sekali bukan tindakan main kritik yang asal bunyi, dan keraguan mendasar yang ditopang oleh bukti-bukti baru, terhadap berbagai posisi saintifik yang sudah mapan, bahkan terhadap semua pandangan keagamaan yang sudah membatu, adalah dua kekuatan mental yang akan melahirkan posisi-posisi saintifk baru, dan membuat agama apapun kehilangan kekuatan pembodohannya.
(3) Mempertahankan relativisme, dan menolak absolutisme
Relativisme adalah suatu posisi yang memandang semua posisi saintifik yang sudah diterima (received opinions) senantiasa terbuka untuk direlativasi, diragukan, ditinjau ulang, dikritik, direvisi, direformulasi, bahkan difalsifikasi lewat uji-coba dan eksperimen lanjutan, ketika berhadapan dengan bukti-bukti baru, sehingga memungkinkan posisi-posisi saintifik alternatif pengganti muncul dan lahir, yang lebih sederhana namun lebih menyeluruh dan terpadu dalam menjelaskan semua fenomena alam (ini yang dinamakan prinsip Occam's Razor).
Relativisme adalah juga salah satu tiang penopang lahirnya pandangan-pandangan saintifik yang baru dalam budaya saintifik, yang berkonflik dengan absolutisme yang menjadi fondasi utama bangunan agama apapun. Absolutisme adalah sikap memutlakkan suatu pandangan, yang dipandang tak bisa salah, selalu benar, sehingga kebal terhadap kritik, perubahan dan falsifikasi, dan berlaku mutlak, tak bisa ditawar, untuk semua keadaan dan kondisi apapun. Absolutisme tidak pernah dibangun di atas bukti-bukti empiris atau teori-teori saintifik, tetapi atas dasar kepercayaan membuta dan sama sekali tidak kritis pada apa yang diklaim sebagai wahyu ilahi. Di mana ada wahyu ilahi, di situ pemikiran kritis terblokir. Absolutisme adalah musuh besar sains apapun, kendatipun dalam dunia sains terdapat posisi-posisi santifik yang sementara ini sudah mapan.
Meskipun mempertahankan relativisme, posisi-posisi saintifik atas berbagai hal dalam jagat raya jauh lebih pasti ketimbang pandangan-pandangan keagamaan tentang hal-hal yang sama, berhubung posisi-posisi saintifik dibangun berdasarkan bukti-bukti empiris, sementara klaim-klaim keagamaan diterima benar begitu saja tanpa ditopang bukti-bukti empiris.
(4) Mempertahankan kebenaran berdasarkan bukti-bukti empiris (empirical evidence), pengalaman-pengalaman real, dan koherensi atau harmoni dengan teori-teori besar saintifik yang ada, dan menolak tegas wahyu skriptural (scriptural revelation) atau tradisi-tradisi suci (lisan atau tertulis) sebagai landasan-landasan kebenaran yang diklaim tak perlu diuji lagi
Ini adalah posisi epistemologis yang disebut epistemologi evidensialis, atau evidensialisme, atau empirisisme, yang menjadi epistemologi pamungkas dalam dunia sains, yang bertabrakan dengan epistemologi revelatif non-evidensialis yang dipertahankan mati-matian oleh kaum agamawan dalam dunia agama.
Dalam masyarakat yang budaya agamanya kuat, orang manapun berisiko akan jadi percaya saja atas apa kata kitab-kitab suci yang diklaim sebagai wahyu ilahi yang tak bisa salah meski tak ada satu pun bukti empiris yang membenarkan peristiwa pewahyuan atau membenarkan hal- hal yang konon diwahyukan oleh Allah.
Selain itu, budaya agama juga seringkali memunculkan orang-orang yang terlalu mudah mempercayai hal-hal spektakuler irasional yang diceritakan dari mulut ke mulut mengenai dunia klenik atau dunia paranormal. Berhadapan dengan fitur budaya agama yang memperbodoh semacam ini, orang harus dengan konsisten meminta segala klaim yang spektakuler, sensasional dan irasional harus didasarkan pada bukti-bukti empiris yang bisa diuji kebenarannya oleh semua orang yang bersikap netral, melalui pengujian-pengujian saintifik lintas ilmu. Klaim-klaim yang luar biasa menuntut bukti-bukti yang juga luar biasa.
(5) Memandang segala klaim kebenaran yang belum terverifikasi oleh bukti-bukti empiris sebagai asumsi-asumsi hipotetis yang masih harus dibuktikan kebenarannya oleh komunitas saintifik dunia
Posisi ini harus tanpa kompromi diberlakukan terhadap semua klaim keagamaan tentang dunia supernatural. Perlu diingat, agama apapun memiliki daya hipnosis dan daya pesona yang kuat, yang membuat banyak orang beragama begitu saja terlena sehingga mempercayai semua klaim keagamaan sebagai fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran, kendatipun klaim-klaim ini tidak memiliki bukti empiris apapun, dan masih tetap dipercayai dan dipertahankan sebagai fakta-fakta kendatipun sudah ada bukti-bukti saintifik yang bertolakbelakang dengan, atau menolak, klaim-klaim keagamaan ini. Inilah delusi yang kerap menjangkiti orang beragama apapun. Delusi adalah kepercayaan yang tetap dengan keras kepala dipegang dan dipertahankan kendatipun sudah ada bukti-bukti yang bertentangan dengan kepercayaan ini; dan orang yang bersikap mental demikian dikategorikan sebagai orang yang delusional.
(6) Menjelaskan segala sesuatu dalam jagat raya melalui argumen hubungan sebab-akibat (cause-and-effect argument) dan dalam keselarasan dengan kerja hukum-hukum alam (natural laws), dan menolak segala kekecualian yang melawan argumen kausalitas dan hukum-hukum alam
Berargumentasi secara saintifik adalah berargumentasi dengan menempatkan segala sesuatu dalam jagat raya dalam suatu hubungan sebab-akibat: tidak ada akibat tanpa sebab, dan setiap penyebab akan menimbulkan akibat, dan hubungan kausal ini berlaku linier ke depan secara prospektif antisipatif maupun ke belakang secara retrospektif, ataupun secara sirkular, semuanya tanpa batas awal dan tanpa batas akhir. Diperhadapkan pada argumen kausalitas ini, argumen-argumen kalangan agamawan, misalnya, bahwa Allah itu ada tanpa ada penyebab sebelumnya menjadi bukan sebuah argumen saintifik, tetapi hanya sebagai klaim-klaim kepercayaan yang selalu hipotetis sifatnya karena belum pernah terbuktikan secara empiris.
Ketika argumen-argumen saintifik yang selaras dengan kerja hukum-hukum alam dikembangkan, maka naturalisme menjadi sebuah posisi filosofis utama kaum saintis yang paling kongkret dan dapat dipertahankan dengan sangat kuat dan solid karena berdasar bukti-bukti empiris yang tak dapat dibantah. Naturalisme filosofis dalam dunia sains tidak dapat bertemu dengan posisi filosofis supernaturalisme yang berlaku dalam dunia agama. Sebuah buku sangat bagus dan komprehensif, yang mengelaborasi kekuatan posisi filosofis naturalisme berhadap-hadapan dengan posisi filosofis supernaturalisme, adalah buku Richard Carrier, Sense and Goodness Without God: A Defense of Metaphysical Naturalism (Bloomington, Indiana: Author House, 2005).
Perlu diketahui, para agamawan sangat menentang argumen-argumen saintifik naturalis, ketika mereka menuduh bahwa kalangan saintis telah mereduksi realitas hanya sebagai hal-hal yang natural dan empiris sehingga mengabaikan dunia supernatural non-empiris. Tetapi mereka tidak bisa menjawab sama sekali ketika kepada mereka diajukan pertanyaan mengenai metode-metode saintifik apa yang mereka akan pakai untuk membuktikan adanya dunia supernatural, jika agama mau dibawa ke dalam dialog dengan sains. Tanpa metode saintifik, tak akan ada kesimpulan saintifik apapun.
Karena sains bekerja dalam parameter-parameter naturalis, maka sains menolak adanya mukjizat yang kerap diklaim kalangan agamawan sebagai sesuatu yang terjadi dalam alam tetapi melawan atau melampaui hukum-hukum alam, karena diadakan oleh makhluk-makhluk supernatural, misalnya Allah atau malaikat atau jin-jin yang tidak tunduk pada kerja hukum-hukum alam.
Tetapi kalaupun ada kejadian-kejadian dalam alam yang oleh para agamawan disebut sebagai mukjizat, kalangan saintis akan mengategorikan kejadian-kejadian itu hanya sebagai kejadian-kejadian natural yang belum dapat dipahami dan dijelaskan sepenuhnya oleh sains yang ada, dan terbuka banyak kemungkinan di masa depan, ketika sains dan teknologi makin maju, hal-hal yang disebut mukjizat oleh kaum agamawan ternyata adalah kejadian-kejadian natural biasa. Pendek kata, bagi orang yang hidup dalam budaya saintifik, mukjizat adalah kejadian natural yang penjelasan saintifiknya masih ditunda.
Atau, pada sisi lain, seorang yang hidup dalam budaya saintifik akan memandang kisah-kisah tentang mukjizat dalam kitab-kitab suci sebagai kisah-kisah fiktif, sebagai kisah-kisah simbolik, sebagai dongeng-dongeng, sebagai metafora, yang digunakan secara umum oleh orang yang hidup pada zaman dan tempat kisah-kisah ini dulu ditulis, untuk keperluan propaganda agama dari berbagai komunitas keagamaan yang sedang bersaing secara ideologis dalam memperebutkan anggota-anggota baru, atau untuk menyampaikan pesan-pesan lain yang bukan makna harfiah teks-teks kitab suci.
Dengan demikian, memahami jenis sastra (literary genre) sebuah bentuk tulisan dalam kitab-kitab suci, apakah jenis sastra dongeng ataukah jenis sastra sejarah, apakah jenis sastra etiologis mitologis ataukah jenis sastra etiologis historis, apakah jenis sastra naratif simbolik ataukah jenis sastra naratif realis historis, adalah hal yang harus dilakukan oleh para pendukung budaya saintifik, karena inilah salah satu cara memahami dan menjelaskan teks-teks kitab suci apapun secara saintifik. Dalam budaya saintifik, teks-teks kitab suci apapun harus dijelaskan dan dipahami lewat metodologi saintifik.
Jika metodologi saintifik digunakan dalam memahami teks-teks kitab suci, maka kita tak akan menyatakan, antara lain, bahwa kisah Adam dan Hawa di Taman Eden (yang dituturkan dalam Tenakh Yahudi, Perjanjian Lama, dan Alquran) atau kisah Nabi Yunus ditelan seekor ikan besar atau kisah Bulan dibelah dua atau kisah Isra Mi'raj adalah kisah-kisah sejarah faktual, sama seperti kita tidak akan menyatakan bahwa kisah Sangkuriang atau kisah Banyuwangi atau kisah Malin Kundang atau kisah Kuntilanak Si Manis Jembatan Ancol atau kisah-kisah fabel Aesop atau kisah-kisah bersambung Harry Potter adalah kisah-kisah sejarah faktual.
Bisa diantisipasi bahwa kaum agamawan akan dengan keras menangkis hal yang baru saya tulis pada alinea di atas, dengan menyatakan bahwa sejauh tertulis dalam kitab-kitab suci mereka kisah apapun adalah kisah sejarah faktual, bukan dongeng atau mitologi atau metafora, seolah, bagi mereka, tuhan mereka hanya bisa berfirman lewat kisah-kisah sejarah, dan sama sekali tak bisa lewat kisah-kisah fiktif, hanya lewat sejarah dan sama sekali tak bisa lewat mimpi, misalnya, sehingga bagi mereka kitab-kitab suci mereka adalah buku-buku sejarah yang paling terpercaya.
Wah, saya jadi teringat pada Yesus dari Nazaret, yang ketika menyampaikan ajaran-ajarannya, teologi-teologinya, dia menggunakan kisah-kisah fiktif karangannya sendiri, yang dikenal sebagai perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah. Saya jujur saja sangat heran pada orang beragama, karena mereka pada satu pihak mempercayai bahwa Allah itu mahakuasa dan mahaberbicara, tetapi di lain pihak mereka mengharuskan Allah mereka ini berfirman hanya lewat kisah-kisah sejarah faktual dan tidak boleh lewat kisah-kisah fiktif rekaan belaka. Kaum agamawan yang semacam ini tentu pernah membaca kisah-kisah dongeng dan mungkin sekali sangat menyukai dongeng, minimal ketika mereka masih kanak-kanak; tetapi mereka sama sekali tidak mau kalau kitab-kitab suci mereka berisi dongeng.
(7) Menyatakan dengan jelas dan tegas berdasarkan hukum-hukum saintifik mana takhayul dan mana fakta, mana dongeng dan mana kisah nyata, mana mitologi dan mana sejarah, mana bahasa metaforis dan mana bahasa faktual, mana pseudosains dan mana sains sejati
Takhayul, dongeng, mitologi, metafora, dan pseudosains banyak mengisi dunia kehidupan beragama, dan karena semua bentuk bahasa ini atau jenis sastra ini diulang-ulang terus dalam kehidupan umat beragama dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran umat, banyak orang beragama pada akhirnya tidak tahu lagi bahwa semua bentuk bahasa atau jenis sastra ini bukanlah fakta-fakta, tetapi mereka terima begitu saja sebagai fakta-fakta.
Karena propaganda yang menyesatkan yang dilakukan terus-menerus oleh para pembela budaya agama, kini ada sangat banyak orang (bahkan di Barat) yang dengan sangat keliru memandang pseudosains, atau lebih tepat disebut sebagai doktrin keagamaan, kreasionisme dan intelligent design sebagai sains sejati yang tak bisa salah, karena, kata mereka, memiliki dasar wahyu skriptural, yang karenanya mengungguli sains evolusi dan kosmologi modern ciptaan manusia.
(8) Memandang potensi manusia untuk membuat kemajuan-kemajuan di masa kini dan di masa depan sebagai potensi tanpa batas dan tanpa titik akhir
Posisi ini berbeda dari sikap mental kalangan agamawan yang melihat segala sesuatunya dalam jagat raya kelak akan berakhir dalam apa yang dinamakan kiamat, atau akan bersiklus secara baka, tanpa pembaruan dan kemajuan yang real, melainkan hanya merupakan pengulangan-pengulangan yang tak berisi peningkatan kualitatif dan kuantitatif.
Potensi insani yang tanpa batas ini dalam mencapai kemajuan peradaban menyebabkan sains juga dapat dikembangkan tanpa batas, karena sains senantiasa bersifat evolusioner, kadang kala malah revolusioner, dinamis, progresif, berkembang, interaktif, kumulatif dan makin lengkap dalam menjelaskan realitas jagat raya. Setiap saintis akan memandang horizon kehidupan yang berada jauh di depan dengan berdiri di atas kedua pundak para saintis sebelumnya. Dalam kamus budaya saintifik, sehubungan dengan pembangunan peradaban manusia, tidak ada kata kiamat atau kata fatalisme atau kata statis atau kata mundur, melainkan hanya kata-kata kemajuan tanpa batas, kemajuan tanpa akhir.
Ada orang yang dengan naif menyatakan bahwa sains yang dibuat manusia bagaimanapun juga terbatas, karena, pertama, kata mereka, umur setiap manusia terbatas, dan, kedua, otak manusia juga memiliki keterbatasan dalam bekerja. Sebagai tanggapan, hanya perlu diingatkan kembali bahwa sains itu dalam proses perkembangannya bersifat progresif, interaktif dan kumulatif, yang melibatkan banyak saintis dari berbagai zaman dan tempat, dan tak pernah berhenti hanya pada pemikiran satu orang saintis manapun baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup.
Selain itu, organ otak manusia yang beratnya 1,5 kg dan berisi 100 milyar neuron/sel-sel saraf adalah sebuah mesin mental biologis dengan kapasitas daya kerja yang boleh dikata tak terbatas, sangat plastis, dan hingga kini belum digunakan semaksimal mungkin oleh setiap orang, dan menggunakan hanya 20 persen energi yang dihasilkan tubuh. Otak kita, karena neuroplastisitasnya, mampu menggeser garis batas pengetahuan kita menjauh ke depan acapkali kita merasa kita sudah tiba pada garis batas terdepan. Potensi kognitif otak manusia nanti akan jauh berlipatganda dari keadaannya sekarang jika "bionic human brains" sudah bisa kita bentuk, sebagai perpaduan otak manusia yang natural dengan otak mesin artificial intelligence (= robot yang memiliki kecerdasan buatan), sebagaimana dibayangkan oleh saintis futuris Ray Kurzweil dalam bukunya The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Penguin Group, 2006 [paperback]; New York: Viking Press, 2005 [hardcover]).
Sebagaimana sudah disinggung di permulaan tulisan ini, blunder yang dibuat oleh kaum agamawan adalah bahwa mereka kerap menyatakan bahwa kitab suci mereka sudah memuat segala hal dalam dunia ini, termasuk juga sains untuk segala zaman, sehingga posisi dan otoritas kitab suci mereka diklaim lebih tinggi dari sains ciptaan manusia apapun yang selalu terbatas. Ini benar-benar sebuah blunder ideologis fatal yang pernah dibuat kaum agamawan. Tidak ada sebuah kitab apapun dalam dunia ini, yang disebut kitab paling suci sekalipun, yang sanggup memuat semua hal dalam dunia ini sejak terbentuknya planet Bumi 4 milyar tahun yang lalu, apalagi memuat semua pengetahuan saintifik manusia sampai batas paling jauh yang mungkin dapat dibayangkan di masa depan yang masih tampak buram.
Blunder yang diklaim kaum agamawan dengan tanpa malu-malu ini menunjukkan sifat naif, pongah, absolutis dan nihilistiknya semua klaim keagamaan. Jauh lebih rendah hati adalah klaim-klaim saintifik yang diajukan kaum saintis, yang dilempar ke komunitas saintifik sedunia untuk diulas, didebat, dikritik, dievaluasi, dan bahkan mungkin ditolak pada akhirnya setelah melewati debat panjang yang bernas dan terhormat.
(9) Menyalurkan rasa ingin tahu (curiosity), bukan mematikannya; menyibak misteri-misteri jagat raya, bukan mempertahankannya atau terhipnosis olehnya
Keingintahuan adalah awal orang melangkah untuk menemukan sains; tanpa keingintahuan, sains tak akan ditemukan dan tak akan berkembang, jagat raya tak akan tereksplorasi, dan misteri alam tetap akan tinggal sebagai misteri. Keingintahuan adalah elan vital, daya kehidupan, yang membuat sains tetap hidup dan berjaya.
Dalam banyak agama, keingintahuan yang ada dalam diri manusia, yang dipertahankan gen manusia, kerap dihambat dan dimatikan, karena kaum agamawan khawatir keingintahuan ini akan mendorong umat masuk ke wilayah-wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah-wilayah misterius yang boleh dimasuki hanya oleh Allah saja. Semoga kita semua sudah tahu, bahwa para agamawan memang perlu kekeh mempertahankan misteri-misteri alam sebagai misteri-misteri ilahi, sebab hanya dengan berbuat demikianlah mereka masih bisa bekerja dan mendapatkan nafkah dalam budaya agama.
To be fair, saya harus katakan, tentu ada juga banyak agamawan yang tidak menempatkan motivasi ekonomis di tempat teratas dalam mereka bekerja sebagai agamawan atau rohaniwan; mereka yang semacam ini mungkin sekali ikhlas bekerja di bidang keagamaan, bukan demi mencari uang, melainkan, menurut mereka, untuk mengabdi kepada Allah, dan karena itu mereka dengan bangga kerap menyebut diri mereka hamba Allah. Tetapi justru status diri mereka yang mereka bayangkan sebagai hamba-hamba Allah (saya sendiri heran, kenapa Allah yang mahakuasa masih perlu hamba-hamba seolah Allah ini tidak mahakuasa!) semakin memperkuat motif mereka untuk menjaga dan mempertahankan misteri-misteri alam dan kehidupan sebagai misteri-misteri ilahi, yang bagi mereka merupakan harta pusaka yang hanya Allah saja yang boleh menguasai dan menjaganya! Tidak ada hamba atau budak yang mengetahui apa isi lemari besi sang majikan besarnya!
Bapak gereja Santo Agustinus (354-430 M), ketika mendiskusikan topik "dosa warisan" dalam karyanya Confessions, buku 10, bab 35, pernah menyatakan sesuatu yang mungkin tidak akan mengagetkan orang mengenai keingintahuan (Latin: curiositas). Demikian katanya, "Ada suatu bentuk lain dari godaan, yang jauh lebih berbahaya. Ini adalah penyakit keingintahuan (curiositas). Penyakit inilah yang mendorong kita untuk mencoba menemukan misteri-misteri alam, misteri-misteri yang berada di luar pemahaman kita, yang kalau kita mau mencapainya kita tak akan memperoleh apa-apa, misteri-misteri yang orang harus tidak ingin memahaminya." (dikutip oleh C. Freeman, The Closing of the Western Mind [London: Heinemann, 2002]; juga dibahas dengan bagus oleh Hans Blumenberg, The Legitimacy of the Modern Age [Massachusetts: MIT Press paperback, 1985 ed., cetakan ketujuh 1999] hlm. 314). Pada sisi lain, di tahun 350 S.M., Aristoteles, dalam karyanya Metaphysics, menyatakan bahwa "semua orang pada dasarnya ingin mengetahui segala sesuatu."
(10) Berani melawan arus utama, menentang ortodoksi apapun dan menawarkan heterodoksi
Posisi ini menjadi lengkap dan membangun jika disertai dengan kerja keras dan kerja cerdas, yang dilakukan dalam kegiatan berpikir yang sistematis, mengobservasi dan melakukan eksperimen dan uji coba berulang-ulang tanpa menyerah.
Sains berubah dan berkembang dan makin solid dan makin bisa menjelaskan lebih banyak hal, karena ada orang-orang yang berani melawan arus utama yang sedang pasang, karena ada orang-orang yang berani menentang ortodoksi lalu menawarkan heterodoksi, dalam dunia sains. Orang-orang semacam ini bukan hanya memiliki keberanian, tetapi juga kecerdasan, keuletan, kedisplinan untuk berpikir keras dan berpikir cerdas, dan kesungguhan dan ketekunan untuk mengadakan banyak uji coba dan eksperimen. Kebajikan-kebajikan semacam ini yang pada akhirnya membuahkan banyak manfaat buat umat manusia umumnya dilarang dalam suatu masyarakat yang didominasi budaya agama.
(11) Berpikir, bukan berdoa; atau berpikir itu adalah berdoa
Seorang yang hidup dalam budaya agama berdoa supaya Tuhannya mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh dirinya sendiri. Dalam budaya saintifik, orang berpikir perihal bagaimana dia sendiri dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar yang biasanya tuhan kerjakan. Hanya orang yang mau mengambilalih pekerjaan-pekerjaan tuhan lewat kegiatan berpikir, yang akan tiba pada pandangan-pandangan saintifik yang makin powerful.
(12) Mengejar prestasi dalam dunia, bukan pahala di surga
Dunia ini, planet Bumi ini, jagat raya kita, adalah tempat kehidupan sejati buat semua orang yang hidup dalam budaya saintifik, tempat dia bekerja, tempat dia mengembangkan dan menemukan sains, tempat dia menghasilkan prestasi-prestasi besar dalam dunia sains, yang akan memberi manfaat nyata bagi semua orang, bagi planet Bumi, bagi jagat raya. Kalaupun ada yang dinamakan kekekalan, entah kehidupan kekal atau peradaban yang kekal, maka kehidupan kekal dan peradaban kekal ini dibangunnya dalam dunia ini, di planet Bumi ini, dalam jagat raya ini, bukan di dunia supernatural yang tak pernah dapat dibuktikan keberadaannya secara empiris.
oleh Ioanes Rakhmat
Masyarakat Indonesia terkenal sangat, sangat beragama sampai-sampai agama pun dengan keliru kerap dipakai untuk mengendalikan dan membelokkan sains (ilmu pengetahuan), dan rasio (akal budi) dikalahkan oleh iman atau kepercayaan membuta pada hal-hal yang tak pernah dibuktikan ada/terjadi secara objektif empiris tetapi diterima begitu saja dengan naif sebagai fakta-fakta. Lalu fakta-fakta bayangan ini dijadikan pengendali pamungkas atas segala hal lainnya dalam kehidupan masyarakat. Bicara secara parabolik, orang Indonesia bisa dikata memakai 97 persen waktu mereka untuk mengurus agama dan membaca buku-buku agama, ketimbang memikirkan sains dan membaca buku-buku sains. Dalam masyarakat Indonesia yang budaya agamanya begitu kuat, tulisan saya ini, tulisan tentang suatu sikap mental, pasti akan dikecam habis oleh kaum agamawan.
Sains dan agama sama-sama mengajukan klaim-klaim mengenai kebenaran-kebenaran, tetapi keduanya memakai metode-metode penemuan kebenaran yang berbeda dan bertolakbelakang satu sama lain. Kebenaran-kebenaran yang diklaim dimiliki agama seringkali disebarkan lewat pemaksaan, dan bahkan lewat kekerasan, bahkan kekerasan sering dipakai untuk membela kebenaran-kebenaran agama apapun. Sebaliknya, kebenaran-kebenaran saintifik, jika sudah teruji dan terverifikasi, akan diterima komunitas dunia saintiik dengan tanpa dipaksa tetapi dengan sendirinya; begitu juga, pandangan-pandangan baru saintifik dilepas ke komunitas dunia saintifik untuk diulas dan diuji, lewat diskusi, debat, kritik dan dialog yang bermartabat, tanpa penumpahan darah siapapun. Jelas jadinya, budaya saintifik yang saya mau ikut bangun dalam masyarakat Indonesia berkonfrontasi tajam dengan budaya agama.
By the way, kita sudah lama kenal dengan ungkapan "budaya korupsi", ketika orang menyatakan misalnya bahwa budaya korupsi telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Jelas, maksud pernyataan ini adalah bahwa hampir semua orang dalam masyarakat Indonesia sudah terbiasa korupsi, di dalam semua bidang pekerjaan dan dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga tidak ada lagi perasaan bersalah ketika seseorang melakukan korupsi: mencuri uang perusahaan, mencuri uang negara, mencuri uang kas gereja, mencuri uang kas komunitas, menyogok, memeras, meminta uang pelicin, membebankan biaya siluman, sebisa mungkin dilakukan dengan profesional sehingga tidak terendus oleh orang lain. Ketika keadaan ini sudah begitu terbiasa, dan semua orang sudah sama-sama tahu bahwa mereka semua korup, maka budaya korupsi pun menjadi suatu gaya hidup yang umum dilakoni.
Demikianlah, budaya saintifik adalah suatu sikap hidup, suatu gaya hidup, suatu sikap mental, suatu kondisi, di mana sains menjadi pengarah dan pengendali kehidupan umum, yang diterima oleh bagian terbesar masyarakat dengan sadar dan sebagai hal yang normal dan benar, sehingga hal-hal yang bertentangan dengan sains dipandang sebagai suatu abnormalitas dan ketidakbenaran.
Fitur-fitur penting suatu budaya saintifik, yang bertentangan dengan fitur-fitur budaya agama, dengan demikian perlu sekali kita kenali, lalu dengan sadar kita jadikan sebagai budaya dan gaya hidup kita sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hanya dengan terus-menerus konsisten hidup sejalan dengan fitur-fitur budaya saintifik, kita mungkin sekali bisa memberi sumbangan penting bagi usaha bersama kita menjadikan bangsa dan negara Indonesia sebagai bangsa dan negara yang mempunyai peran penting dalam memajukan dan mengembangkan sains (dan teknologi) di tingkat global. Ini adalah usaha yang sangat penting, sebab masa depan dunia, bahkan keselamatan spesies manusia di masa depan, tidak bergantung pada agama, tetapi pada sains dan teknologi modern.
Siapapun yang menjalani kehidupannya dalam suatu budaya saintifk, yang berkonflik dengan kehidupan dalam budaya agama, senantiasa akan menjalankan langkah-langkah berikut, dan sementara menjalankan semuanya dengan sungguh-sungguh akan berkembang makin bijaksana dan makin bermoral.
(1) Berpaling ke sains, bukan ke kitab-kitab suci, dalam mencari kebenaran-kebenaran apapun dalam jagat raya ini
Sudah sangat lama kaum agamawan mengklaim bahwa agama adalah satu-satunya pranata yang otoritatif dalam menjelaskan segala hal yang ada dalam dunia ini, dalam kehidupan manusia, dan dalam jagat raya, karena segala hal sudah ditulis dalam kitab-kitab suci, dan ditulis di bawah bimbingan Allah sehingga tulisan-tulisan dalam kitab-kitab suci tak bisa salah dalam segala hal. Ketika agama dan kekuatan politik menyatu, klaim ini kerap menyeret kaum saintis dari berbagai zaman dan tempat ke tangan-tangan para penguasa religio-politik yang akan menyiksa bahkan membunuh mereka karena mereka, sebagai saintis, telah berani mengutarakan ke publik pandangan-pandangan saintifik mereka yang dinilai bertentangan dengan isi kitab-kitab suci.
Era hegemoni agama atas dunia sains kini sudah berakhir. Kebangkitan sains untuk melawan agama baru saja dimulai. Dalam peradaban Barat, era kebangkitan dan kemenangan sains atas otoritas agama dimulai pada abad ke-18, era yang disebut Aufklaerung, era Pencerahan. Tetapi satu atau dua abad sebelumnya, Galileo Galilei (1564-1642) telah memulai era kemenangan sains atas agama, dan atas keberaniannya hidup dalam budaya saintifk dan memelopori pemikiran saintifik dan pemakaian metode penyelidikan saintifik, dia kini diakui sebagai Bapak sains modern meskipun pada masanya dia ditolak oleh gereja dan dikenai tahanan rumah sampai akhir hayatnya. Sekarang adalah saatnya untuk orang tanpa rasa takut apapun berpaling ke sains ketika mereka mencari kebenaran apapun dalam jagat raya. Sekaranglah saatnya orang tanpa rasa takut perlu menulis buku-buku sains dan menerbitkannya untuk publik. Kini tak ada wilayah alam dan kehidupan yang tidak bisa dimasuki sains untuk dianalisis secara saintifik.
Klaim bahwa agama menyampaikan kebenaran-kebenaran spiritual supernatural, yang bukan menjadi objek-objek kajian sains sehingga agama tetap mempunyai suara yang otoritatif dalam pengetahuan tentang hal-hal spiritual dan supernatural, sekarang ini sudah tak bisa lagi dipertahankan mengingat sains modern kini sudah memasuki dan menyelidiki juga kawasan-kawasan yang selama ini diklaim kaum agamawan sebagai kawasan-kawasan spiritual supernatural.
Penyelidikan saintifik dengan memakai pendekatan-pendekatan klinis (maksudnya: memakai objek-objek kajian yang real, otak manusia misalnya, bukan hanya kajian-kajian teoretis) terhadap kawasan-kawasan yang diklaim sebagai kawasan-kawasan spiritual supernatural dilakukan oleh disiplin ilmu yang dulu dinamakan neuropsikologi, yang kini dinamakan neurosains.
Neurosains juga sudah menjelajah masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini diklaim sebagai wilayah-wilayah klenik atau wilayah-wilayah paranormal, sehingga segala bentuk fenomena klenik dan paranormal kini hampir seluruhnya sudah bisa dijelaskan sebagai hal-hal natural yang tunduk pada kajian-kajian saintifik, untuk memperlihatkan cara-cara kerjanya, isinya, bahkan kebohongan-kebohongannya.
Untuk sementara ini, saya bisa menganjurkan buku-buku berikut ini untuk dibaca dengan seksama dan dipahami, yang isinya semua mendukung apa yang baru saya kemukakan di atas:
(*) Michael A. Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs (New York: Praeger, 1987);
(*) Andrew Newberg, E. D'Aquili, dan V. Rause, Why God Won't Go Away (New York: Ballantine Books, 2001).
(*) Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings from a Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009);
(*) Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Henry Holt and Company, 1997, 2002);
(*) Michael Shermer, The Believing Brain: From Ghosts and Gods to Politics and Conspiracies—How We Construct Beliefs and Reinforce Them as Truths (New York: Henry Holt and Company, 2011);
(*) Richard Wiseman, Paranormality: Why We See What Isn't There (MacMillan, U.K., 2011).
(2) Mengambil posisi rasional, kritis dan skeptis terhadap segala sesuatu, dan menjauhkan diri dari posisi main percaya saja
Dengan kata lain, posisi ini adalah posisi mempertahankan dan membela rasionalisme, kritisisme, skeptisisme, dan melepaskan fideisme sekali untuk selamanya.
Sikap dan pandangan yang rasional, kritis, dan meragukan segala sesuatu (=skeptisisme) adalah beberapa fondasi mental penting yang di atasnya sains dibangun dan terus dikembangkan. Sebaliknya, dalam budaya agama orang umumnya diminta untuk mempertahankan fideisme, yakni sikap menerima saja dalam iman/kepercayaan (fides) penuh dan membuta atas segala hal yang diajarkan para sesepuh komunitas keagamaan apapun turun-temurun. Rasionalisme, kritisisme dan skeptisisme adalah musuh agama-agama pada umumnya.
Kritik yang lahir dari pemikiran yang rasional dan mendasar, yang sama sekali bukan tindakan main kritik yang asal bunyi, dan keraguan mendasar yang ditopang oleh bukti-bukti baru, terhadap berbagai posisi saintifik yang sudah mapan, bahkan terhadap semua pandangan keagamaan yang sudah membatu, adalah dua kekuatan mental yang akan melahirkan posisi-posisi saintifk baru, dan membuat agama apapun kehilangan kekuatan pembodohannya.
(3) Mempertahankan relativisme, dan menolak absolutisme
Relativisme adalah suatu posisi yang memandang semua posisi saintifik yang sudah diterima (received opinions) senantiasa terbuka untuk direlativasi, diragukan, ditinjau ulang, dikritik, direvisi, direformulasi, bahkan difalsifikasi lewat uji-coba dan eksperimen lanjutan, ketika berhadapan dengan bukti-bukti baru, sehingga memungkinkan posisi-posisi saintifik alternatif pengganti muncul dan lahir, yang lebih sederhana namun lebih menyeluruh dan terpadu dalam menjelaskan semua fenomena alam (ini yang dinamakan prinsip Occam's Razor).
Relativisme adalah juga salah satu tiang penopang lahirnya pandangan-pandangan saintifik yang baru dalam budaya saintifik, yang berkonflik dengan absolutisme yang menjadi fondasi utama bangunan agama apapun. Absolutisme adalah sikap memutlakkan suatu pandangan, yang dipandang tak bisa salah, selalu benar, sehingga kebal terhadap kritik, perubahan dan falsifikasi, dan berlaku mutlak, tak bisa ditawar, untuk semua keadaan dan kondisi apapun. Absolutisme tidak pernah dibangun di atas bukti-bukti empiris atau teori-teori saintifik, tetapi atas dasar kepercayaan membuta dan sama sekali tidak kritis pada apa yang diklaim sebagai wahyu ilahi. Di mana ada wahyu ilahi, di situ pemikiran kritis terblokir. Absolutisme adalah musuh besar sains apapun, kendatipun dalam dunia sains terdapat posisi-posisi santifik yang sementara ini sudah mapan.
Meskipun mempertahankan relativisme, posisi-posisi saintifik atas berbagai hal dalam jagat raya jauh lebih pasti ketimbang pandangan-pandangan keagamaan tentang hal-hal yang sama, berhubung posisi-posisi saintifik dibangun berdasarkan bukti-bukti empiris, sementara klaim-klaim keagamaan diterima benar begitu saja tanpa ditopang bukti-bukti empiris.
(4) Mempertahankan kebenaran berdasarkan bukti-bukti empiris (empirical evidence), pengalaman-pengalaman real, dan koherensi atau harmoni dengan teori-teori besar saintifik yang ada, dan menolak tegas wahyu skriptural (scriptural revelation) atau tradisi-tradisi suci (lisan atau tertulis) sebagai landasan-landasan kebenaran yang diklaim tak perlu diuji lagi
Ini adalah posisi epistemologis yang disebut epistemologi evidensialis, atau evidensialisme, atau empirisisme, yang menjadi epistemologi pamungkas dalam dunia sains, yang bertabrakan dengan epistemologi revelatif non-evidensialis yang dipertahankan mati-matian oleh kaum agamawan dalam dunia agama.
Dalam masyarakat yang budaya agamanya kuat, orang manapun berisiko akan jadi percaya saja atas apa kata kitab-kitab suci yang diklaim sebagai wahyu ilahi yang tak bisa salah meski tak ada satu pun bukti empiris yang membenarkan peristiwa pewahyuan atau membenarkan hal- hal yang konon diwahyukan oleh Allah.
Selain itu, budaya agama juga seringkali memunculkan orang-orang yang terlalu mudah mempercayai hal-hal spektakuler irasional yang diceritakan dari mulut ke mulut mengenai dunia klenik atau dunia paranormal. Berhadapan dengan fitur budaya agama yang memperbodoh semacam ini, orang harus dengan konsisten meminta segala klaim yang spektakuler, sensasional dan irasional harus didasarkan pada bukti-bukti empiris yang bisa diuji kebenarannya oleh semua orang yang bersikap netral, melalui pengujian-pengujian saintifik lintas ilmu. Klaim-klaim yang luar biasa menuntut bukti-bukti yang juga luar biasa.
(5) Memandang segala klaim kebenaran yang belum terverifikasi oleh bukti-bukti empiris sebagai asumsi-asumsi hipotetis yang masih harus dibuktikan kebenarannya oleh komunitas saintifik dunia
Posisi ini harus tanpa kompromi diberlakukan terhadap semua klaim keagamaan tentang dunia supernatural. Perlu diingat, agama apapun memiliki daya hipnosis dan daya pesona yang kuat, yang membuat banyak orang beragama begitu saja terlena sehingga mempercayai semua klaim keagamaan sebagai fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran, kendatipun klaim-klaim ini tidak memiliki bukti empiris apapun, dan masih tetap dipercayai dan dipertahankan sebagai fakta-fakta kendatipun sudah ada bukti-bukti saintifik yang bertolakbelakang dengan, atau menolak, klaim-klaim keagamaan ini. Inilah delusi yang kerap menjangkiti orang beragama apapun. Delusi adalah kepercayaan yang tetap dengan keras kepala dipegang dan dipertahankan kendatipun sudah ada bukti-bukti yang bertentangan dengan kepercayaan ini; dan orang yang bersikap mental demikian dikategorikan sebagai orang yang delusional.
(6) Menjelaskan segala sesuatu dalam jagat raya melalui argumen hubungan sebab-akibat (cause-and-effect argument) dan dalam keselarasan dengan kerja hukum-hukum alam (natural laws), dan menolak segala kekecualian yang melawan argumen kausalitas dan hukum-hukum alam
Berargumentasi secara saintifik adalah berargumentasi dengan menempatkan segala sesuatu dalam jagat raya dalam suatu hubungan sebab-akibat: tidak ada akibat tanpa sebab, dan setiap penyebab akan menimbulkan akibat, dan hubungan kausal ini berlaku linier ke depan secara prospektif antisipatif maupun ke belakang secara retrospektif, ataupun secara sirkular, semuanya tanpa batas awal dan tanpa batas akhir. Diperhadapkan pada argumen kausalitas ini, argumen-argumen kalangan agamawan, misalnya, bahwa Allah itu ada tanpa ada penyebab sebelumnya menjadi bukan sebuah argumen saintifik, tetapi hanya sebagai klaim-klaim kepercayaan yang selalu hipotetis sifatnya karena belum pernah terbuktikan secara empiris.
Ketika argumen-argumen saintifik yang selaras dengan kerja hukum-hukum alam dikembangkan, maka naturalisme menjadi sebuah posisi filosofis utama kaum saintis yang paling kongkret dan dapat dipertahankan dengan sangat kuat dan solid karena berdasar bukti-bukti empiris yang tak dapat dibantah. Naturalisme filosofis dalam dunia sains tidak dapat bertemu dengan posisi filosofis supernaturalisme yang berlaku dalam dunia agama. Sebuah buku sangat bagus dan komprehensif, yang mengelaborasi kekuatan posisi filosofis naturalisme berhadap-hadapan dengan posisi filosofis supernaturalisme, adalah buku Richard Carrier, Sense and Goodness Without God: A Defense of Metaphysical Naturalism (Bloomington, Indiana: Author House, 2005).
Perlu diketahui, para agamawan sangat menentang argumen-argumen saintifik naturalis, ketika mereka menuduh bahwa kalangan saintis telah mereduksi realitas hanya sebagai hal-hal yang natural dan empiris sehingga mengabaikan dunia supernatural non-empiris. Tetapi mereka tidak bisa menjawab sama sekali ketika kepada mereka diajukan pertanyaan mengenai metode-metode saintifik apa yang mereka akan pakai untuk membuktikan adanya dunia supernatural, jika agama mau dibawa ke dalam dialog dengan sains. Tanpa metode saintifik, tak akan ada kesimpulan saintifik apapun.
Karena sains bekerja dalam parameter-parameter naturalis, maka sains menolak adanya mukjizat yang kerap diklaim kalangan agamawan sebagai sesuatu yang terjadi dalam alam tetapi melawan atau melampaui hukum-hukum alam, karena diadakan oleh makhluk-makhluk supernatural, misalnya Allah atau malaikat atau jin-jin yang tidak tunduk pada kerja hukum-hukum alam.
Tetapi kalaupun ada kejadian-kejadian dalam alam yang oleh para agamawan disebut sebagai mukjizat, kalangan saintis akan mengategorikan kejadian-kejadian itu hanya sebagai kejadian-kejadian natural yang belum dapat dipahami dan dijelaskan sepenuhnya oleh sains yang ada, dan terbuka banyak kemungkinan di masa depan, ketika sains dan teknologi makin maju, hal-hal yang disebut mukjizat oleh kaum agamawan ternyata adalah kejadian-kejadian natural biasa. Pendek kata, bagi orang yang hidup dalam budaya saintifik, mukjizat adalah kejadian natural yang penjelasan saintifiknya masih ditunda.
Atau, pada sisi lain, seorang yang hidup dalam budaya saintifik akan memandang kisah-kisah tentang mukjizat dalam kitab-kitab suci sebagai kisah-kisah fiktif, sebagai kisah-kisah simbolik, sebagai dongeng-dongeng, sebagai metafora, yang digunakan secara umum oleh orang yang hidup pada zaman dan tempat kisah-kisah ini dulu ditulis, untuk keperluan propaganda agama dari berbagai komunitas keagamaan yang sedang bersaing secara ideologis dalam memperebutkan anggota-anggota baru, atau untuk menyampaikan pesan-pesan lain yang bukan makna harfiah teks-teks kitab suci.
Dengan demikian, memahami jenis sastra (literary genre) sebuah bentuk tulisan dalam kitab-kitab suci, apakah jenis sastra dongeng ataukah jenis sastra sejarah, apakah jenis sastra etiologis mitologis ataukah jenis sastra etiologis historis, apakah jenis sastra naratif simbolik ataukah jenis sastra naratif realis historis, adalah hal yang harus dilakukan oleh para pendukung budaya saintifik, karena inilah salah satu cara memahami dan menjelaskan teks-teks kitab suci apapun secara saintifik. Dalam budaya saintifik, teks-teks kitab suci apapun harus dijelaskan dan dipahami lewat metodologi saintifik.
Jika metodologi saintifik digunakan dalam memahami teks-teks kitab suci, maka kita tak akan menyatakan, antara lain, bahwa kisah Adam dan Hawa di Taman Eden (yang dituturkan dalam Tenakh Yahudi, Perjanjian Lama, dan Alquran) atau kisah Nabi Yunus ditelan seekor ikan besar atau kisah Bulan dibelah dua atau kisah Isra Mi'raj adalah kisah-kisah sejarah faktual, sama seperti kita tidak akan menyatakan bahwa kisah Sangkuriang atau kisah Banyuwangi atau kisah Malin Kundang atau kisah Kuntilanak Si Manis Jembatan Ancol atau kisah-kisah fabel Aesop atau kisah-kisah bersambung Harry Potter adalah kisah-kisah sejarah faktual.
Bisa diantisipasi bahwa kaum agamawan akan dengan keras menangkis hal yang baru saya tulis pada alinea di atas, dengan menyatakan bahwa sejauh tertulis dalam kitab-kitab suci mereka kisah apapun adalah kisah sejarah faktual, bukan dongeng atau mitologi atau metafora, seolah, bagi mereka, tuhan mereka hanya bisa berfirman lewat kisah-kisah sejarah, dan sama sekali tak bisa lewat kisah-kisah fiktif, hanya lewat sejarah dan sama sekali tak bisa lewat mimpi, misalnya, sehingga bagi mereka kitab-kitab suci mereka adalah buku-buku sejarah yang paling terpercaya.
Wah, saya jadi teringat pada Yesus dari Nazaret, yang ketika menyampaikan ajaran-ajarannya, teologi-teologinya, dia menggunakan kisah-kisah fiktif karangannya sendiri, yang dikenal sebagai perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah. Saya jujur saja sangat heran pada orang beragama, karena mereka pada satu pihak mempercayai bahwa Allah itu mahakuasa dan mahaberbicara, tetapi di lain pihak mereka mengharuskan Allah mereka ini berfirman hanya lewat kisah-kisah sejarah faktual dan tidak boleh lewat kisah-kisah fiktif rekaan belaka. Kaum agamawan yang semacam ini tentu pernah membaca kisah-kisah dongeng dan mungkin sekali sangat menyukai dongeng, minimal ketika mereka masih kanak-kanak; tetapi mereka sama sekali tidak mau kalau kitab-kitab suci mereka berisi dongeng.
(7) Menyatakan dengan jelas dan tegas berdasarkan hukum-hukum saintifik mana takhayul dan mana fakta, mana dongeng dan mana kisah nyata, mana mitologi dan mana sejarah, mana bahasa metaforis dan mana bahasa faktual, mana pseudosains dan mana sains sejati
Takhayul, dongeng, mitologi, metafora, dan pseudosains banyak mengisi dunia kehidupan beragama, dan karena semua bentuk bahasa ini atau jenis sastra ini diulang-ulang terus dalam kehidupan umat beragama dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran umat, banyak orang beragama pada akhirnya tidak tahu lagi bahwa semua bentuk bahasa atau jenis sastra ini bukanlah fakta-fakta, tetapi mereka terima begitu saja sebagai fakta-fakta.
Karena propaganda yang menyesatkan yang dilakukan terus-menerus oleh para pembela budaya agama, kini ada sangat banyak orang (bahkan di Barat) yang dengan sangat keliru memandang pseudosains, atau lebih tepat disebut sebagai doktrin keagamaan, kreasionisme dan intelligent design sebagai sains sejati yang tak bisa salah, karena, kata mereka, memiliki dasar wahyu skriptural, yang karenanya mengungguli sains evolusi dan kosmologi modern ciptaan manusia.
(8) Memandang potensi manusia untuk membuat kemajuan-kemajuan di masa kini dan di masa depan sebagai potensi tanpa batas dan tanpa titik akhir
Posisi ini berbeda dari sikap mental kalangan agamawan yang melihat segala sesuatunya dalam jagat raya kelak akan berakhir dalam apa yang dinamakan kiamat, atau akan bersiklus secara baka, tanpa pembaruan dan kemajuan yang real, melainkan hanya merupakan pengulangan-pengulangan yang tak berisi peningkatan kualitatif dan kuantitatif.
Potensi insani yang tanpa batas ini dalam mencapai kemajuan peradaban menyebabkan sains juga dapat dikembangkan tanpa batas, karena sains senantiasa bersifat evolusioner, kadang kala malah revolusioner, dinamis, progresif, berkembang, interaktif, kumulatif dan makin lengkap dalam menjelaskan realitas jagat raya. Setiap saintis akan memandang horizon kehidupan yang berada jauh di depan dengan berdiri di atas kedua pundak para saintis sebelumnya. Dalam kamus budaya saintifik, sehubungan dengan pembangunan peradaban manusia, tidak ada kata kiamat atau kata fatalisme atau kata statis atau kata mundur, melainkan hanya kata-kata kemajuan tanpa batas, kemajuan tanpa akhir.
Ada orang yang dengan naif menyatakan bahwa sains yang dibuat manusia bagaimanapun juga terbatas, karena, pertama, kata mereka, umur setiap manusia terbatas, dan, kedua, otak manusia juga memiliki keterbatasan dalam bekerja. Sebagai tanggapan, hanya perlu diingatkan kembali bahwa sains itu dalam proses perkembangannya bersifat progresif, interaktif dan kumulatif, yang melibatkan banyak saintis dari berbagai zaman dan tempat, dan tak pernah berhenti hanya pada pemikiran satu orang saintis manapun baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup.
Selain itu, organ otak manusia yang beratnya 1,5 kg dan berisi 100 milyar neuron/sel-sel saraf adalah sebuah mesin mental biologis dengan kapasitas daya kerja yang boleh dikata tak terbatas, sangat plastis, dan hingga kini belum digunakan semaksimal mungkin oleh setiap orang, dan menggunakan hanya 20 persen energi yang dihasilkan tubuh. Otak kita, karena neuroplastisitasnya, mampu menggeser garis batas pengetahuan kita menjauh ke depan acapkali kita merasa kita sudah tiba pada garis batas terdepan. Potensi kognitif otak manusia nanti akan jauh berlipatganda dari keadaannya sekarang jika "bionic human brains" sudah bisa kita bentuk, sebagai perpaduan otak manusia yang natural dengan otak mesin artificial intelligence (= robot yang memiliki kecerdasan buatan), sebagaimana dibayangkan oleh saintis futuris Ray Kurzweil dalam bukunya The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Penguin Group, 2006 [paperback]; New York: Viking Press, 2005 [hardcover]).
Sebagaimana sudah disinggung di permulaan tulisan ini, blunder yang dibuat oleh kaum agamawan adalah bahwa mereka kerap menyatakan bahwa kitab suci mereka sudah memuat segala hal dalam dunia ini, termasuk juga sains untuk segala zaman, sehingga posisi dan otoritas kitab suci mereka diklaim lebih tinggi dari sains ciptaan manusia apapun yang selalu terbatas. Ini benar-benar sebuah blunder ideologis fatal yang pernah dibuat kaum agamawan. Tidak ada sebuah kitab apapun dalam dunia ini, yang disebut kitab paling suci sekalipun, yang sanggup memuat semua hal dalam dunia ini sejak terbentuknya planet Bumi 4 milyar tahun yang lalu, apalagi memuat semua pengetahuan saintifik manusia sampai batas paling jauh yang mungkin dapat dibayangkan di masa depan yang masih tampak buram.
Blunder yang diklaim kaum agamawan dengan tanpa malu-malu ini menunjukkan sifat naif, pongah, absolutis dan nihilistiknya semua klaim keagamaan. Jauh lebih rendah hati adalah klaim-klaim saintifik yang diajukan kaum saintis, yang dilempar ke komunitas saintifik sedunia untuk diulas, didebat, dikritik, dievaluasi, dan bahkan mungkin ditolak pada akhirnya setelah melewati debat panjang yang bernas dan terhormat.
(9) Menyalurkan rasa ingin tahu (curiosity), bukan mematikannya; menyibak misteri-misteri jagat raya, bukan mempertahankannya atau terhipnosis olehnya
Keingintahuan adalah awal orang melangkah untuk menemukan sains; tanpa keingintahuan, sains tak akan ditemukan dan tak akan berkembang, jagat raya tak akan tereksplorasi, dan misteri alam tetap akan tinggal sebagai misteri. Keingintahuan adalah elan vital, daya kehidupan, yang membuat sains tetap hidup dan berjaya.
Dalam banyak agama, keingintahuan yang ada dalam diri manusia, yang dipertahankan gen manusia, kerap dihambat dan dimatikan, karena kaum agamawan khawatir keingintahuan ini akan mendorong umat masuk ke wilayah-wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah-wilayah misterius yang boleh dimasuki hanya oleh Allah saja. Semoga kita semua sudah tahu, bahwa para agamawan memang perlu kekeh mempertahankan misteri-misteri alam sebagai misteri-misteri ilahi, sebab hanya dengan berbuat demikianlah mereka masih bisa bekerja dan mendapatkan nafkah dalam budaya agama.
To be fair, saya harus katakan, tentu ada juga banyak agamawan yang tidak menempatkan motivasi ekonomis di tempat teratas dalam mereka bekerja sebagai agamawan atau rohaniwan; mereka yang semacam ini mungkin sekali ikhlas bekerja di bidang keagamaan, bukan demi mencari uang, melainkan, menurut mereka, untuk mengabdi kepada Allah, dan karena itu mereka dengan bangga kerap menyebut diri mereka hamba Allah. Tetapi justru status diri mereka yang mereka bayangkan sebagai hamba-hamba Allah (saya sendiri heran, kenapa Allah yang mahakuasa masih perlu hamba-hamba seolah Allah ini tidak mahakuasa!) semakin memperkuat motif mereka untuk menjaga dan mempertahankan misteri-misteri alam dan kehidupan sebagai misteri-misteri ilahi, yang bagi mereka merupakan harta pusaka yang hanya Allah saja yang boleh menguasai dan menjaganya! Tidak ada hamba atau budak yang mengetahui apa isi lemari besi sang majikan besarnya!
Bapak gereja Santo Agustinus (354-430 M), ketika mendiskusikan topik "dosa warisan" dalam karyanya Confessions, buku 10, bab 35, pernah menyatakan sesuatu yang mungkin tidak akan mengagetkan orang mengenai keingintahuan (Latin: curiositas). Demikian katanya, "Ada suatu bentuk lain dari godaan, yang jauh lebih berbahaya. Ini adalah penyakit keingintahuan (curiositas). Penyakit inilah yang mendorong kita untuk mencoba menemukan misteri-misteri alam, misteri-misteri yang berada di luar pemahaman kita, yang kalau kita mau mencapainya kita tak akan memperoleh apa-apa, misteri-misteri yang orang harus tidak ingin memahaminya." (dikutip oleh C. Freeman, The Closing of the Western Mind [London: Heinemann, 2002]; juga dibahas dengan bagus oleh Hans Blumenberg, The Legitimacy of the Modern Age [Massachusetts: MIT Press paperback, 1985 ed., cetakan ketujuh 1999] hlm. 314). Pada sisi lain, di tahun 350 S.M., Aristoteles, dalam karyanya Metaphysics, menyatakan bahwa "semua orang pada dasarnya ingin mengetahui segala sesuatu."
(10) Berani melawan arus utama, menentang ortodoksi apapun dan menawarkan heterodoksi
Posisi ini menjadi lengkap dan membangun jika disertai dengan kerja keras dan kerja cerdas, yang dilakukan dalam kegiatan berpikir yang sistematis, mengobservasi dan melakukan eksperimen dan uji coba berulang-ulang tanpa menyerah.
Sains berubah dan berkembang dan makin solid dan makin bisa menjelaskan lebih banyak hal, karena ada orang-orang yang berani melawan arus utama yang sedang pasang, karena ada orang-orang yang berani menentang ortodoksi lalu menawarkan heterodoksi, dalam dunia sains. Orang-orang semacam ini bukan hanya memiliki keberanian, tetapi juga kecerdasan, keuletan, kedisplinan untuk berpikir keras dan berpikir cerdas, dan kesungguhan dan ketekunan untuk mengadakan banyak uji coba dan eksperimen. Kebajikan-kebajikan semacam ini yang pada akhirnya membuahkan banyak manfaat buat umat manusia umumnya dilarang dalam suatu masyarakat yang didominasi budaya agama.
(11) Berpikir, bukan berdoa; atau berpikir itu adalah berdoa
Seorang yang hidup dalam budaya agama berdoa supaya Tuhannya mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh dirinya sendiri. Dalam budaya saintifik, orang berpikir perihal bagaimana dia sendiri dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar yang biasanya tuhan kerjakan. Hanya orang yang mau mengambilalih pekerjaan-pekerjaan tuhan lewat kegiatan berpikir, yang akan tiba pada pandangan-pandangan saintifik yang makin powerful.
(12) Mengejar prestasi dalam dunia, bukan pahala di surga
Dunia ini, planet Bumi ini, jagat raya kita, adalah tempat kehidupan sejati buat semua orang yang hidup dalam budaya saintifik, tempat dia bekerja, tempat dia mengembangkan dan menemukan sains, tempat dia menghasilkan prestasi-prestasi besar dalam dunia sains, yang akan memberi manfaat nyata bagi semua orang, bagi planet Bumi, bagi jagat raya. Kalaupun ada yang dinamakan kekekalan, entah kehidupan kekal atau peradaban yang kekal, maka kehidupan kekal dan peradaban kekal ini dibangunnya dalam dunia ini, di planet Bumi ini, dalam jagat raya ini, bukan di dunia supernatural yang tak pernah dapat dibuktikan keberadaannya secara empiris.
oleh Ioanes Rakhmat
0 komentar:
Posting Komentar